Dalam tulisan saya terdahulu mengenai Kedudukan Perempuan dalam perspektif Islam (INIS, 1993) secara implisit saya hendak mengatakan bahwa agama Islam sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap berbagai pelanggaran hak-hak perempuan yang terjadi sebagaimana banyak dikeluhkan orang selama ini. Ketidakmampuan untuk membedakan secara tajam tentang sumber-sumber utama hukum Islam yakni Al Qur’an dan Hadits dengan interpretasi para ahli fiqh yang kemudian menjadi Hukum Islam (Syariah Islam) serta penggunaan metode interpretasi yang sangat tekstual dan tidak berperspektif genderlah yang menyebabkan wajah Islam menjadi sangat diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini misalnya tercermin dalam berbagai diskursus selama ini tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan hak-hak perempuan. Jarak yang terdapat dalam pemahaman tentang sumber-sumber Islam yang utama dengan praktek budaya berdasarkan Islam juga turut mempengaruhi gambaran yang kurang tepat tentang Islam itu sendiri apalagi jika menyangkut masalah perempuan. Contoh yang paling popular adalah soal kepemimpin perempuan dalam Islam yang belakangan ini muncul kembali dan juga masalah poligami yang dalam UU Perkawinan telah dilakukan pembatasan-pembatasan yang kemudian dianggap bertentangan dengan syariat Islam.
Tulisan ini tidak secara spesifik ingin membahas mengenai masalah-masalah tersebut melainkan hanya ingin menunjukkan bagaimana dinamika dan pengaruh nilai-nilai agama terutama syariah Islam dalam sistem hukum Indonesia khususnya yang berkenaan dengan pengaturan hak-hak perempuan. Sejarah sistem hukum Indonesia memberikan pelajaran berharga bahwa sejak awalnya telah terjadi tarik menarik yang sangat kuat antara berbagai kepentingan pada saat hukum tersebut dirumuskan. Selain kepentingan kelompok dominan yang biasanya diwakili oleh negara dengan para pendukungnya, kepentingan agama atau kelompok yang berasaskan agama tertentu menjadi unsur penting dalam proses tersebut selain pengaruh kelompok-kelompok kepentingan lainnya dalam masyarakat seperti misalnya kelompok perempuan atau kelompok profesi. Demikian pula halnya yang terjadi saat pemerintah kolonial Belanda menetapkan penggolongan penduduk dengan pemberlakuan sistim hukum yang berlainan terhadap masing-masing golongan tersebut tdak terlepas dari kepentingan pemerintah kolonial dengan politik divide et imperanya. Yang menarik adalah bahwa pada hampir semua pembicaraan yang berkaitan dengan kepentingan dan hak-hak perempuan masalah kepentingan agama semakin menonjol untuk dijadikan acuan. Sayangnya justru penafsiran yang sangat oppressive dari teks agamalah yang pada umumnya lebih menonjol ke permukaan sedangkan representasi penafsiran yang lebih kontekstual dan apalagi berperspektif gender terasa amat marginal.
Pemahaman tentang perlunya penafsiran yang lebih kontekstual, demokratis dan berperspektif gender pada era reformasi saat ini amatlah diperlukan terutama pada era otonomi daerah saat ini. Masalahnya saat otonomi daerah diperlukan terlihat kecenderungan adanya daerah-daerah yang merasa perlu menghidupkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai adat mereka baik yang langsung bersandar kepada nilai-nilai agam Islam maupun yang tidak. DPRD Sumatera Barat misalnya dalam rangka menegakkan nilai yang telah berakar lama dalam masyarakat Minangkabau yakni “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah, Syara” mangato Adat mamakai” telah mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemberantasan Penyakit Maksiat. Raperda ini antara lain memuat ketentuan yang melarang perempuan keluar malam tanpa disertai muhrimnya (pasal 10 ayat 3) dan larangan tindakan porno yakni semua jenis kegiatan atau perbuatan yang merangsang nafsu birahi termasuk pakaian wanita yang terbuka aurat dan pakaian yang terlalu ketat dengan memperlihatkan postur tubuh yang membangkitkan nafsu laki-laki yang melihatnya (pasal 1 dan penjelasannya).
Sedangkan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan DPRD Kabupaten Kendal mengeluarkan peraturan daerah yang menetapkan bahwa hanya kepala keluarga yang dapat menjadi anggota Dewan Kelurahan. Ketentuan ini langsung atau tidak langsung bersumber pada tafsir surat An-Nissa ayat 34 yang pada pokoknya menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dan oleh karena itu sering pula ditafsirkan bahwa anya laki-laki yang dapat menjadi pemimpin termasuk dalam lembaga-lembaga kepemimpinan masyarakat seperti halnya Dewan Kelurahan itu.
Dari contoh-contoh tersebut diatas jelaslah betapa besarnya pengaruh syariat atau nilai-nilai Islam itu dalam proses perumusan hukum nasional kita bahkan sampai ke tingkat pemerintah daerah khususnya jika hal itu berkaitan dengan kepentingan perempuan. Tarik menarik antara berbagai kepentingan juga terlihat dengan jelas saat RUU perkawinan dibahas di DPR pada tahun 1973. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa bagi negara keluarga merupakan sebuah unit terkecil masyarakat yang berperanan penting dalam pembentukan watak bangsa dan tata tertib masyarakat sedangkan bagi institusi agama keluarga adalah wadah utama untuk mensosialisasikan nilai dan ajaran agama. Diantara dua kepentingan besar tersebut kepentingan perempuan yang sejak semual (dalam konteks masyarakat patriakhi) dianggap sekunder menjadi terabaikan atau paling sedikit telah terlebih dahulu didefinisikan oleh dua kepentingan dominan tersebut. Sangat kecilnya representasi perempuan di parlemen dan atau di lembaga-lembaga pengambilan keputusan lainnya ikut menenggelamkan kepentingan perempuan diantara dua kelompok kepentingan dominan tadi. Akibatnya rumusan-rumusan tentang status dan kedudukan perempuan meskipun tampak lebih maju dari yang sebelumnya yakni yang diatur dalam 105-107 BW (dimana perempuan tidak dianggap sebagai subyek hukum), namun tetap merupakan pengukuhan peran streotipy perempuan dalam masyarakat patriakhi tersebut diatas.
Sejarah pengaturan keluarga sejak masa kolonial sampai tahun 1973 saat RUU Perkawinan diajukan oleh pemerintah menunjukkan adanya peperangan antara dua kepentingan besar tersebut diatas (negara dan agama). Jika dilihat rancangan awalnya maka tampak bahwa negara hanya berkepentingan untuk mengatur perkawinan dari segi tertib administrative sekaligus sebagai upaya untuk memiliki sebuah UU Perkawinan yang bersifat nasional. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU ini dimaksudkan agar bangsa Indonesian memiliki sebuah UU Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat. Oleh karena itu selain harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pancasila dan UUD 1945, harus pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Oleh karena itu UU Perkawinan ini juga menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepecayaan dari masyarakat yang bersangkutan.
Sebagaimana diketahui sebelum lahirnya UU Perkawinan telah berlaku hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah sebagai berikut :
a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat.
b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
c. Bagi orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijke Ordonantie Christen Indonesia (S. 1993 nomor 74).
d. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan KUHP dengan sedikit perubahan.
e. Bagi orang Timur Asing lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat mereka.
f. Bagi orang Eropa dan warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku KUHP
Pengaturan hukum perkawinan yang berlainan menurut golongan penduduk dan agama dalam perspektif negara kesatuan tentulah bukanlah sesuatu yang menguntungkan bagi upaya-upaya untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan yang menjadi jargon politik pemerintah saat itu.
Namun bagi kelompok Islam pengaturan masalah ini dianggap sebagai kesempatan untuk meneguhkan ketentutan-ketentuan agama Islam atau hukum yang bersumber pada nilai ajaran Islam dalam hukum negara. Oleh karena itu sesegera RUU itu disampaikan oleh pemerintah reaksi sangat keras dari kelompok organisasi Islam. RUU tersebut dianggap bertentangan dengan hukum Islam khususnya yang berkenaan dengan pengaturan masalah pembatasan jumlah isteri, sahnya perkawinan, perkawinan beda agama dan tentang masa iddah. Selain itu dikatakan pula bahwa oleh karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim maka sebaiknya hukum Islam menjadi dasar bagi pengaturan perkawinan. Wakil Ketua DPP Muhammadiyah bahkan merasa perlu untuk menulis surat kepada Presiden Soeharto agar RUU itu ditinjau kembali karena banyak pasalnya yang bertentangan dengan Syariat Islam.
Hal ini misalnya terlihat dari pembahasan tentang peran dan kedudukan perempuan dalam UU Perkawinan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 31 ayat 3 dan pasal 34 ayat 1 bahwa suami adalah kepala keluarga dan wajib memberikan nafkah kepada isterinya sedangkan isteri adalah pengurus rumah tangga yang wajib mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Jika kita lihat kembali pada RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah tidak terdapat rumusan eksplisit yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga, namun dalam perkembangannya terdapat tambahan pada pasal 31 ayat 3 tersebut. Seorang pemuka agama Islam pada waktu itu yakni Syafrudin Prawiranegara mengajukan kritik keras terhadap tiadanya konsep suami sebagai kepala keluarga ini mengingat konsep ini telah lama dikenal dalam sistim keluarga parental Islam
Demikian pula halnya dengan rumusan pasal 34 ayat 1 yang menurut pandangan umum Fraksi PP yang disampaikan oleh Teuku HM Saleh pada tanggal 17 dan 18 September 1974 merupakan ketentuan agama Islam khususnya yang bersumber pada ketentuan Surat An-Nissa ayat 34. Pembahasan mengenai poligami tentu memperoleh porsi perhatian yang cukup besar terutama dari kelompok perempuan yang telah memperjuangkan masalah ini sejak awal pergerakannya. Namun dalam perjalanannya lagi-lagi mereka terpaksa harus bekompromi karena tentu saja harus berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip agama yang bersumber pada Al Qur’an. Ketidakmampuan kaum perempuan dalam memberikan interpretasi terhadap surat An-Nissa ayat 3 (yang dikenal sebagai ayat poligami) dari perspektif perempuan berhadapan dengan otoritas agama yang begitu besarnya telah memperlemah perjuangan perempuan untuk menegakkan asas monogamy dalam UU Perkawinan. Namun demikian ketentuan pasal 3 dalam UU Perkawinan tersebut tentang asas monogami dengan poligami terbatas merupakan hasil maksimal yang dapat dicapai dalam perjuangan panjang yang melelahkan itu.
Dari sejarah pembahasan UU Perkawinan harus diakui bahwa tampaknya kepentingan perempuan harus menyerah dihadapan kepentingan negara dan kepentingan agama. Bahkan dalam perjalanan itu kelompok perempuan menjadi terpecah akibat terjadinya polarisasi kepentingan yang sayangnya lebih banyak mencerminkan kepentingan partai dimana kelompok perempuan tersebut berafiliasi. Sementara kelompok perempuan yang lebih independen kurang mendapat tempat dalam percaturan kepentingan yang sedang berlangsung terutama karena hilangnya dukungan dari konstituen mereka akibat politik korporatis pemerintah orde baru. Dengan kondisi seperti ini maka tidak mengherankan jika UU Perkawinan akhirnya menjadi sebuah sarana yang mengukuhkan ketidakadilan bagi perempuan.
Jika pembahasan mengenai materi UU Perkawinan khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak perempuan menunjukkan tarik menarik yang sangat kuat antara ketiga kelompok kepentingan (negara, perempuan dan agama), hal yang sama terjadi saat pembahasan lembaga peradilan yang akan mengurus masalah perkawinan ini. Dalam RUU Perkawinan dikatakan bahwa lembaga yang mengurus masalah-masalah perkawinan adalah peradilan umum. Rancangan ini tentu saja segera mengundang reaksi keras dari kelompok Islam mengingat jauh sebelumnya bahkan sejak masa kolonial eksistensi Peradilan Agama Islam telah ada dan bahkan setelah kemerdekaan dikukuhkan keberadaannya dengan UU nomor 22 tahun 1946. Ini berarti bahwa jika UU perkawinan yang baru menetapkan bahwa hanya lembaga peradilan umum saja yang berwenang mengurus masalah perkawinan maka secara tidak langsung akan menghilangkan eksistensi peradilan agama Bahkan juga bicara FPP menyatakan bahwa jika demikian halnya maka UU Perkawinan tersebut tidak lebih dari pengambilalihan ide perkawinan Kristen yang di atur dalam HOCI (Ordonantie perkawinan Kristen untuk orang Indonesia asli) dan BW yang sebelum adanya UU Perkawinan berlaku juga bagi orang Timur Asing dan orang Indonesia asli non Muslim. Sebaliknya hukum Islam yang terutama yang telah diresipier dalam hukum adat dan berlaku sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Islam diabaikan begitu juga.
Eksistensi Hukum Islam dalam tata hukum Indonesia sebetulnya merupakan bagian dari politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah dimulai lebih dari satu abad yang lalu. Meski dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan kehendak sejarah berdasarkan kebutuhan masyarakay Islam pada waktu itu namun formalisasinya dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam bentuk pendirian Peradilan Agama di Jawa dan Madura pada tahun 1882 berdasarkan Staatsblad 1882 nomor 152 dan Staatblad 1937 nomor 116 dan nomor 610. Hal yang sama juga
No comments:
Post a Comment