Walaupun agama merupakan keyakinan akan adanya Tuhan, Malaikat dan makhluk gaib lainnya yang bersifat sakral, tetapi tetap saja agama memiliki aspek-aspek kultural-sosiologisnya yang bersifat profan, tak terkecuali agama Islam. Islam termasuk dalam rumpun agama-agama abrahamik (abrahamic religions) atau agama-agama wahyu (revealed religions) yang memiliki seperangkat kepercayaan yang sudah given atau taken for granted, akan tetapi Islam tak dapat dilepaskan dari konteks sosiologis-kulturalnya. Genealogi Islam dimulai ketika Muhammad menerima wahyu di padang tandus Arab, tepatnya di Gua Hira pada abad ke-7 M. Kemudian secara berangsur-angsur selama kurang dari 23 tahun "bisikan firman" Allah tersebut dikodifikasikan dalam bentuk mushaf Al Qur'an seperti yang dikenal sekarang. Dengan demikian, ketika firman Allah yang bersifat transenden dan adikodrati itu difirmankan sampai diobyektifkan dalam sebuah tulisan (mushaf yang berbahasa Arab), maka sesungguhnya wahyu Allah tersebut telah memasuki pelantaran sejarah dan oleh karena itu tidak bisa mengelakan diri hukum sejarah yang selalu berubah dan dari kaidah-kaidah sosiologis-kultural yang bersifat empirik (Hidayat, 2004: 100). Terlebih ketika Islam telah keluar dari wilayah "rahim budaya" Arab dan mulai bersentuhan dengan budaya-budaya lainnya, persoalan banyak sekali muncul. Belum lagi jika, seiring perkembagan waktu, dinamika masyarakat muslim pun mulai banyak bermunculan termasuk dalam wilayah pengaturan kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat muslim, terutama selepas wafatnya Muhammad SAW. Inilah permulaan masyarakat muslim disibukan dengan urusan-urusan politik.
Agama Dan Politik: Sebuah Perspektif Sosiologis
Agama secara fungsional merupakan institusi yang paling efektif dalam pengawasan dan perekat sosial, karena ia memberi legitimasi atau pengabsahan terhadap tatanan sosial tertentu. Keampuhan legitimasi agama dapat dimengerti karena ia berhasil mengaitkan "situasi batas" dalam bahasa Karl Jasper (filsuf Jerman), yakni realitas-realitas yang bersifat "rawan" oleh karena dibentuk oleh manusia yang serba kekurangan, dengan "realitas purna" (ultimate reality) yang memiliki sifat kemestian dan mutlak. Hasil dari internalisasi doktrin agama melahirkan sebentuk pengetahuan yang diobjektivasi secara sosial oleh masyarakat. Gejala inilah yang berhasil memelihara dan mempertahankan agama pada tatanan sosial tertentu, pada gilirannya legitimasi keagmaan berhasil menghalangi antara realitas yang benar dan realitas yang salah, dan sekali lagi agama dengan sangat gemilang mengambil peran itu (Berger, 1994: 37-40).
Di sisi lain, politik merupakan tindakan yang melibatakan kekuasaan dan otoritas. Jika kekuasaan dimaknai sebagai kemampuan seseorang/intitusi untuk mempengaruhi seseorang/institusi lain, maka otoritas lebih dimaknai sebagai kekuasaan yang diabsahkan atau dilegitimasi (M. Soebiantoro, et.al., 2000). Celakanya, fakta bahwa agama seringkali digunakan sebagai basis legitimasi atas tatanan sosial-politik tertentu seringkali terjadi dan digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya. Dari pemahaman itu tidaklah sulit mengaitkan agama sebagai penyedia "pengetahuan yang diobyektivikasi" dengan usaha merebut dan mempertahankan kekuasaan politik. Dengan demikian, mengaitkan antara politik dan agama bukanlah usaha yang sia-sia.
Fungsi agama sebagai legitimasi tidak terlepas dari agama yang mempunyai daya tarik sentripetal, yakni kemampuan agama memberikan legitimasi dan sublimasi terhadap wilayah "sekuler" menjadi wilayah "agamis", sebaliknya, agama pun memiliki kekuatan sentrifugal, yaitu kemampuan agama menerobos dan memasuki wilayah "sekuler" (Hidayat, 2004: 103). Hal ini tidak terlepas dari doktrin imperatif agama terhadap setiap pemeluknya. Dengan konsep ganjaran dan hukuman, agama memisahakan antara manusia yang taat dan manusia yang ingkar. Dari situ dapat maklumi betapa keyakinan agama sangat mempengaruhi aspek kehidupan umatnya.
Islam, secara imperatif menekankan ketundukan secara menyeluruh (kaffah) umatnya pada perintah Allah dan rasul-Nya (QS. 2: 208). Artinya, setiap pemeluknya tidak diperbolehkan hanya setengah-setengah saja dalam memilih Islam sebagai agama mereka. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi Islam sebagai way of life (jalan hidup) yang menyediakan janji kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Islam tidak memisahkan antara diin (agama dalam arti akhirat) dan dunya (dunia). Bahkan Islam memberikan konsepsi nilai-nilai etika politik universal yang sangat memungkinkan bagaimana sebuah negara dan pemerintahan di bangun. Oleh karena itu, Islam merupakan agama universal yang mencakup 3D (diin, dunya dan daulah) sekaligus.
Memang, di dalam Islam baik secara normatif-teologis dan historis wilayah agama tidak dapat dipisahkan dari politik. Secara normatif-teologis pula, di dalam Al Qur'an tidak ditemukan kata yang menunjuk langsung pada konsep negara sebagai kajian utama politik modern, tetapi Islam sangat menekankan tegaknya nilai-nilai keadilan, musyawarah dan persamaan, dimana ketiganya sangat sulit dipisahkan dari konsep kekuasaan. Di sisi lain, secara historis kehidupan nabi tidak bisa dilepaskan dari aspek politik, baik ketika nabi masih di Mekkah, lebih-lebih ketika nabi berada di Madinah dan beliau berperan sebagai pemimpin. Dengan demikian, Islam memberikan etika bagi berlangsungnya kehidupan politik.
Tantangan Demokrasi
Persinggungan Islam dan demokrasi nampaknya telah menyibukan para pemikir, negarawan dan praktisi politik muslim. Tidak saja karena konsep itu sendiri bukan berakar dari rahim budaya Islam, namun juga memang makna demokrasi dari ”dari sananya” telah mengandung ketaksaan makna, sampai matangnya belakangan ini. Munculnya perbedaan-perbedaan interpretasi-interpretasi semacam itu dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, secara teoritis antara Islam dan demokrasi memang berbeda ”dari sananya". Seperti yang telah disinggung di awal, keduanya memang lahir dari ”rahim budaya” yang berbeda. Selain itu, rentang perjalanan dari lahir, berkembang sampai kematangannya keduanya juga menentukan bentuknya hingga sekarang. Meskipun Islam dan demokrasi memiliki kesamaan nilai-nilai yang sama tentang humanisme, tetapi keduanya diakari oleh dua prinsip yang sangat berbeda satu sama lain. Islam sebagai sebuah agama yang mengatakan bahwa ”seluruhnya berasal dari Allah”, sementara demokrasi berasal dari tradisi agnostik atau humanisme sekuler. Dari dasar teoritis ini, keduanya sangat berlainan, yang pada gilirannya sangat mengundang multi tafsir apabila keduanya bertemu.
Kedua, secara teologis Islam tidak secara definitif mengatur wilayah pengaturan pemerintahan. Di dalam teks Al Qur’an, bahkan tidak ada kata ”daulah” atau negara, yang ada hanya nilai-nilai yang mendasari penyelenggaraan pemerintahan, seperti syura (musyawarah) dan ’adalah (keadilan). Oleh karena itu, dalam pengaturan pemerintahan adalah wilayah ijtihad.
Ketiga, secara sosiologis Islam telah dipeluk oleh masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya, sejarah dan geografis yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan inilah yang memuculkan beragam tafsir tentang kaitan antara Islam dan demokrasi. Proses semacam ini menurut Mohammed Arkoun (dalam Bahtiar, 1999: 9) disebut sebagai ”estetika penerimaan”. Menurutnya, ”estetika penerimaan” inilah yang menentukan ”bagaimana sebuah diskursus-terucap maupun tertulis-diterima oleh pendengan atau pembaca” (ibid., 10). Selain itu, pengalaman sebagaian besar negara Islam sebagai negara bekas jajahan, juga turut menentukan perbedaan-perbedaan tafsiran mengenai kaitan antara Islam dan demokrasi. Kolonialisme telah membentuk pikiran para bekas terjajah sebagai inferior, sehingga seringkali yang genuine dalam negeri muslim sendiri tidak memiliki tempat dalam pemikiran Islam sendiri, lebih tepatnya masyarakat bekas jajahan tidak memiliki percaya diri terhadap produk pemikirannya.
No comments:
Post a Comment