Remaja merupakan fase perantaraan, bukan anak kecil dan bukan orang dewasa. Maka pemikirannya pun bukanlah tertumpu kepada ibu lagi, tetapi berpikir tentang nilai kemandirian dan pertemanan. Pemikiran yang diterima mulai bisa diorganisisasikan, lalu mencoba menelurkan ide-ide baru.
Kempuan berpikir bisa menjadi lebih abstrak-teoritis, menalar logis, untuk menarik sebuah kesimpulan dari informasi yang diterima. Bahkan sudah bisa berpikir tentang masa depan atau cita-cita sekaligus menerjemahkannya menjadi rencana aksi strategis untuk mewujudkannya. Kemudian buahnya adalah penemuan-penemuan karakteristik pribadi yang unik yang kokoh menghujam dalam pemikiran, perasaan, dan sikap.
Semua itu sangat tergantung pada lingkungan pergaulan dari remaja, karena remaja kecenderungannya lebih besar terhadap teman daripada orang tua atau keluarga. Padahal, sudah menjadi prestasi sekaligus ironi, remaja saat ini adalah remaja yang penuh dengan kegelimangan teknologi informasi dan komunikasi. Sampah dari buahnya yaitu budaya hedonisme semakin merajalela, suatu pandangan hidup yang terwujud dalam perilaku yang beranggapan kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan utama, bahkan satu-satunya. Segala aktivitas penuh dengan usaha-usaha yang berorientasi sesaat, tanpa berpikir panjang ke depan, apalagi kehidupan akhirat. Selain itu usahanya pun hanya untuk kepentingan sendiri, dengan mengesampingkan kepentingan orang lain: berpikir egois. Asal kebutuhan dan kesenangan sendiri terpenuhi, sudahlah cukup, untuk apa memikirkan kesulitan orang lain walaupun orang lain itu sangat membutuhkan pertolongan, bahkan sampai meminta-minta.
Sangat ramai mal-mal dengan remaja, entah itu hanya nongkrong dan kongkow atau benar-benar berbelanja hal-hal yang diingankan padahal belum tentu dibutuhkan. Pusat-pusat hiburan, misalnya konser musik, café, game online, dan sebagainya, penuh dengan para remaja yang menghambur-hamburkan waktu yang amat berharga dengan percuma. Pelajaran-pelajaran menjadi suatu teori tak terbantahkan yang dihafalkan tanpa ada niatan mengaplikasikan dan atau mentransformasikan. Orientasi pemenuhannya hanya untuk lembaran-lembaran evaluasi berupa angka-angka penilaian subjektif pengajar tanpa ada mentoring dalam pengamalan.
Adapun masjid, menjadi kosong melompong, dibiarkan bolong tanpa ada polesan remaja yang tertambat hatinya di sana. Diskusi-diskusi keislaman menjadi rutinitas tanpa kreatifitas dan dinamisasi kualitas maupun kuantitas. Aktivitas sosial kemasyarakatan hanya menjadi bagan struktural di dinding, menjadi “gerakan yang tidak bergerak”.
Kalau begitu, dengan kondisi seperti ini apakah mungkin remaja sempat dan mau serta mampu memikirkan persoalan-persoalan kebangsaan. Menjadi keniscayaan yang pasti, bahwa remaja hedonis itu anti dengan persoalan sosial-politik. Dengan orientasi kekinian dan egoisme tingkat tinggi, sudah pasti keengganan itu merajai pola pikir para remaja tersebut.
Mengingat persoalan bangsa adalah multi dimensional, tidak hanya ranah politik, namun sosial, ekonomi, kebudayaan, serta keamanan dan ketahanan, maka sangat tidak laik ketika remaja melewatkannya. Sebagai para penentu wajah dunia 20-30 tahun selanjutnya, remaja sudah seyogyanya mulai berpikir dengan mengenal kemudian menganalisis permasalahan bangsa, baik itu yang mendasar atau pengembangan. Lalu juga berlatih mengkritisi dan berpihak atau bertendensi dalam berbagai aktivitasnya. Sehingga pemikirannya tidak jumud pada kestatisan dalam hal-hal remeh temeh yang egois.
Selain itu, saat ini dibutuhkan pendidikan kepemimpinan sebagai dasar untuk memasuki jagad perpolitikan dengan berbagai levelnya, bisa tingkat RT, Walikota, atau PBB. Kesemuanya tidaklah bisa secara instan dalam persiapannya. Maka dari itu dibutuhkan pelatihan sebagai bentuk pengenalan dan memahamkan teoritis-konsepsional tentang kepemimpinan; diskusi dan tukar pikiran tentang problematika politik-kepemimpinan beserta dinamisasinya; penyediaan wahana aktualisasi dini yang praktis namun efektif; serta mentoring yang menyeluruh sekaligus mendetail untuk mengantisipasi penurunan motivasi ataupun orientasi.
Berdasar tingkat kepentingan yang tinggi, yaitu pendidikan remaja, maka sangat dibutuhkan implementasi nyata. Yaitu dalam bentuk penyediaan wahana untuk mengenalkan kemudian mengecamkan prinsip-prinsip organisasi modern dan kepemimpinan kepada remaja. Wahana tersebut tidaklah ditentukan lokuss gerakannya namun harus menjunjung tinggi norma-norma Islam. Jumlahnya harus banyak, semakin mengerucut semakin banyak yang tertampung dan terbuka lebih lebar kesempatan untuk lebih massif doktrinisasi konsepsi tersebut. Selain itu, pemimpin-pemimpin yang banyak ini, dibutuhkan pengendalian yang terorganisasi dan terberdayakan secara intensif dan mengena.
Bentuk seperti ini misalnya pembentukan kelompok diskusi dan belajar dalam kelas-kelas, pembentukan dewan kelas dengan peran lebih sebagai representasi suara siswa di sekolah, pengalihan wewenang-wewenang berat untuk remaja dalam berbagai aktivitas, pembentukan komunitas-komunitas baca, tulis, diskusi yang independen namun terstruktur, dll.
Dengan memunculkan pemimpin-pemimpin kecil yang banyak namun bagus, akan lebih massif gerakan kebangsaan yang terbangun, dan kemungkinan jauh lebih besar untuk memunculkan pemimpin baru yang keluar sebagai jalan alternatif atas persoalan-persoalan bangsa. Sebelumnya tentu terbentuk pribadi-pribadi yang berkepribadian kokoh dan bisa mengokohkan teman sebaya yang lainnya. Sehingga komunitas tersebut menjadi forum yang melejitkan potensi diri sekaligus dinamika kelompok menuju kelompok yang humanis, modernis, dan Islami.
No comments:
Post a Comment