Upacara Bendera 17 Agustus, berkumandangnya lagu Indonesia Raya, detik-detik Proklamasi, gelora salam Merdeka, derap langkah nasionalisme, renungan jasa para pahlawan, tabur bunga di makam pahlawan, berkobarnya semangat persatuan, panjat pinang, lomba makan kerupuk, dangdutan, perlombaan olah raga, serta berbagai kegiatan mengisi hari kemerdekaan, dan...dst...dst.
Seharian saya berkeliling Ibukota Jakarta memperhatikan perilaku berbagai kalangan masyarakat dalam memperingati hari kemerdekaan RI ke 63 ini. Semangat itu masih terasa, gelora untuk memajukan Indonesia Raya masih ada, kepedihan menahan beban ekonomi sedikit dilupakan untuk meramaikan Pesta Kemerdekaan Indonesia dalam kesederhanaan. Rasa malu sebagai akibat dari arah Indonesia yang tidak jelas sedikit terlupakan manakala menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Teringat perasaan senasib ketika bangsa Indonesia berjuang mencapai kemerdekaannya.
Teringat persahabatan sejati kebangsaan Indonesia mengusir penjajah yang telah merampok kekayaan Indonesia.
Teringat luka...kematian...tangisan...teriakan...tatapan harapan. Semua dilalui dengan keberanian dan mimpi untuk membangun bangsa Indonesia yang bersatu dalam payung NKRI yang bersama-sama memakmurkan rakyat.
Mengapa sekarang kita menjadi penakut, menjadi pengecut, menjadi ragu-ragu, menjadi saling mencurangi, menjadi saling mencakar, menjadi saling curiga.
Mengapa kekuasaan menjadi rebutan, sementara tanggung jawab mengemban amanat penderitaan rakyat cenderung diabaikan. Kesombongan intelektual liberalisme menguasai sistem ekonomi yang kita pilih sekarang, akibatnya ekonomi liberal yang liar mencabik-cabik kekayaan bangsa yang terbagi-bagi hanya di kalangan elit. Pemerintah hanya menjadi penagih pajak yang tunduk pada kekuasaan yang telah dikuasai elit politik dan penguasaha. Korupsi belum juga menunjukkan penurunan yang berarti, ketidakseimbangan dimana-mana, semangat separatisme masih bergelaora seiring dengan antisipasi otonomi daerah yang miskin persiapan.
Apa sesungguhnya yang terjadi dengan negeri Indonesia yang semakin sering dilanda bencana, baik bencana alamiah maupun yang dirancang oleh tangan-tangan jahat penghianat bangsa.
Tidak seluruh kengerian dan mimpi buruk yang Blog I-I sampaikan merupakan akibat dari kepemimpinan nasional, tetapi juga menjadi nyata karena kita semakin egois, saling mendendam, masa bodoh, dan yang paling parah adalah pengecut, lebih parah lagi pengecut karena takut jatuh martabat, takut jatuh miskin, takut jatuh dari kekuasaan.
Akibatnya sebuah dosa besar bernama korupsi menjadi budaya, sementara sinergi kekuasaan dengan swasta kembali melahirkan jaring kolusi yang sangat erat. Meskipun rakyat mati terbenam lumpur, tidak akan lahir kepedulian sejati dalam ketulusan menolong sesama manusia Indonesia. Apa yang terjadi adalah...ini perusahaanku, hartaku...ini negaraku, akulah pemimpin yang berpengaruh, mulai dari tingkatan manapun, bila ego kejahatan AKUnya itu tetap besar, kita akan terus menyaksikan kerusakan demi kerusakan.
Makna kemerdekaan tidaklah hanya bersifat individual tetapi merupakan cerminan kondisi bangsa yang terdiri dari berbagai komponen. Bila kita hanya memikirkan diri sendiri, niscaya bagi mereka yang mapan dan memiliki kekuasaan dan akses yang luas...sungguh hidupnya sangat amat merdeka. Tetapi bagi mereka yang nasibnya tergantung pada orang lain, perasaan terjajah itu justru semakin dalam apabila orang-orang yang memiliki pengaruh dalam hajat hidup orang banyak tidak mampu, pengecut, atau bahkan tidak paham bagaimana mengelola sumber-sumber kehidupan orang banyak secara adil.
Makna kemerdekaan adalah awal terwujudnya mimpi membangun bersama NKRI untuk kesejahteraan rakyat. Menjaga keamanan seluruh warga dalam lindungan sistem hukum yang adil dan kokoh. Bukan personifikasi kekuasaan individual ke dalam sistem seperti terjadi di wilayah Yudikatif dan eksekutif, atau rancangan sikut-menyikut di legislatif. Diperlukan keinsyafan massal tentang pentingnya kesadaran bersama dalam mengelola seluruh potensi bangsa.
Makna kemerdekaan dalam kerangka demokrasi masih bisa menerima segala hiruk pikuk persaingan para elit untuk menjadi pengelola negara, namun semua itu dalam kepatuhan terhadap aturan main. Yang lebih penting lagi adalah keseriusan serta keberanian dalam menempuh jalan pembangunan yang akan berdampak luas dan positif bagi bangsa Indonesia. Segala perdebatan harus bisa dilaksanakan dalam semangat persatuan dan pada saatnya harus berhenti, para pihak harus mengerti dan mampu menerima secara legowo. Meskipun dendam dan sakit hati itu adalah sifat manusiawi, namun bila kebenaran sedang membimbing Indonesia Raya, kita patut mendukungnya. Sebaliknya bila kegelapan sedang berkuasa kita juga wajib menempuh langkah nyata untuk meneranginya.
Merdeka!!!
SW
No comments:
Post a Comment