Jangan bangga mengatakan merdeka jika belum paham makna merdeka! Karena jika kita mendeklarasikan kemerdekaan sementara sendi-sendi kita masih terbelenggu, yang ada hanya sebuah kemunafikan yang semakin menindas kehidupan sendi itu.
*De facto* atau *de jure*? dua elemen yang bukan pilihan dalam sebuah pernyataan kemerdekaan. Menyatakan merdeka secara hukum berarti faktanya
sudah bebas dari penindasan, keterpurukan, dan mampu berkehendak. Bukan sebagian merdeka namun sebagian lagi tertindas dengan kemerdekaan yang diperoleh. Belumlah suatu bangsa dikatakan merdeka jika faktanya para birokrat merdeka berkehendak, membuat kebijakan yang menindas kemerdekaan rakyat.
Dalam konteks Indonesia. Tahun 1945 merupakan awal kemerdekaan bangsa ini, bahkan dunia intenasional pun mengakuinya. Kebijakan-kebijakan Negara menjadi hak bangsa Indonesia sendiri, tidak ada lagi bayang-bayang intimidasi bangsa lain. Melahirkan konstitusi sendiri dan melakukan eksekutif kebijakan sendiri. Lahirnya ideologi bangsa, yang menjadi sakti karena agungnya harapan. Semua rakyat bahagia menyambut masa tanpa penindasan.
Seiring bergulirnya waktu, pengkhianatan demi pengkhianatan terus berlaku. Bukan lagi bangsa lain yang memporak-porandakan kemerdekaan bangsa namun
egoisme para 'penguasa' kebijakan. Melupakan konstitusi yang katanya sakti, namun tetap menyatakan konstitusi tersebut tetap sakti adanya dengan membuat kebijakan-kebijakan sentralistik hingga rakyat tidak lagi dapat ber-aspirasi. Satu jurus saat itu, hanya ada Asas Tunggal (PANCASILA, red.), asas agama pun 'haram' berada diatas perut ibu pertiwi. Hingga banyak organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lari dikejar-kejar aparat hanya karena tidak mau melepas landasan ideologis, layaknya *sparatis* padahal nasionalisme mereka tak perlu diragukan.
Periode pun berubah, 1998 corong demokrasi digaungkan dengan menggulirkan rezim orde baru diganti dengan Reformasi. Rakyat pun yang berkuasa, Demokrasi! Aparatur Negara adalah pengejawantahan rakyat dalam proses PEMILU, organisasi pun tidak lagi terikat dengan Asas-Tunggal, namun tetap berkomitmen dengan NKRI dan landasan bangsa. Beriringan segala profesi, wilayah, dll memiliki masing-masing kebebasannya. Pelbagai istilah kebebasan banyak kita dengar, mulai kebebasan pers, kebebasan berpendapat, HAM, dll hingga kebebasan bagi Aparatur Negara membuat kebijakan.
Pemilu 1999, partai-partai politik bermunculan karena arus kebebasan berpartisipasi aktif dalam politik diakui. Lagi-lagi rakyat menjadi sasaran panasnya 'pesta demokrasi', banyak konflik terjadi hanya gara-gara bendera parpol yang dikibarkan. Nyawa pun tak segan-segan menjadi jawaban pesta perebutan posisi nomor wahid bangsa Indonesia. Aparatur Negara lengkap sudah terpilih dengan segala janji dirinya adalah hasil perjuangan rakyat dan akan memperjuangnkan nasib rakyat, kini tinggallah janji. Sekali lagi rakyat dibodohi…hak yang harusnya diperoleh dan kewajiban yang harusnya diberikan oleh Negara hanyalah hiasan konstitusi Negara. Dan Aparatur berhak melakukan
atau tidak.
Indonesia secara yuridhis sudah merdeka namun *de facto* masih nampak imprealisme model baru. Karena kebijakan-kebijakan bangsa selalu menindas rakyat. Inilah imprealisme model baru itu, bangsa dijajah oleh bangsa sendiri. Sebuah realitas sosial tanpa keterpihakan kepada rakyat di masa kemerdekaan dengan penjajah pemerintah. Yang ada hanya institusi pelindung rakyat yang miskin dan mandul kebijakn.
63 Tahun Indonesia Merdeka! Mampukah kita mengucapkan dalam lisan atau sekedar meyakini dalam hati. Sementara rakyat semakin merintih karena tidak dapat mersakan pendidikan layak, makan bergizi, tidur dengan aman, berbudaya dengan nyaman, bermodal tanpa tindasan rentenir, gila gara-gara tidak lulus UAN, bahkan segunung masalah lainnya. Bangsaku suram, ibu pertiwiku muram, masa depan rakyatku buram.
No comments:
Post a Comment