Hari ini saya mengantar teman saya yang menjadi panitia ospek di salah satu universitas di PADANG. Jam masih menunjukkan pukul 04.50 pagi, namun sepanjang jalan di depan fakultas sudah dipenuhi para panitia Ospek. Beberapa mahasiswa berpakaian seragam hitam sudah tampak berjaga di jalanan. Mereka melihat saya dengan tatapan tajam, termasuk ketika saya nekat memasuki area mereka tanpa mematikan mesin motor. Saya jadi ingat, beberapa tahun yang lalu saya hampir berkelahi dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya karena mereka menghalangi saya masuk ke jalan yang sama dengan pentungan di tangan dan wajah arogansinya, padahal saya juga panitia OSPEK di kampus yang berbeda.
Seperti yang kita ketahui OSPEK atau apapun namanya kini, telah menjadi suatu tradisi yang melembaga sejak dahulu pada institusi pendidikan di Indonesia seperti SMA dan Perguruan Tinggi terutama pada masa penerimaan pelajar/ mahasiswa baru.
Pada dasarnya kegiatan OSPEK memiliki tujuan mulia untuk mempersiapkan pelajar/ mahasiswa baru untuk memasuki lingkungan pendidikan yang baru dengan serangkaian acara ceramah, tugas-tugas aneh, tetek bengek atribut-atribut, segudang sanksi hukuman yang dipadatkan dalam beberapa hari.
Sejak tahun 1995an, kasus OSPEK mulai muncul di media publik seiring dengan banyaknya korban yang terus berjatuhan. Lalu OSPEK pun berganti-ganti baju untuk memperhalus dan memulihkan citranya sebagai ajang penggojlokan.
Sudah banyak tulisan di media massa yang membahas mengenai keburukan OSPEK, bahkan blog Pak Priyadi juga menyuarakan ketidaksetujuan dengan OSPEK :
Ospek, Ajang Ekspresi Impulsi Kekerasan, dan Jati Diri Praksis Pendidikan
Ospek Mahasiswa Tiru Pola Militeristik
Kekerasan Pada Sistem Pendidikan Indonesia
Bagi saya sendiri, OSPEK adalah budaya PEMBODOHAN yang terus dilestarikan untuk memenuhi kepuasan nafsu kekuasaan dan ekspresi agresifitas sekelompok orang semata dalam lingkungan pendidikan. Berikut ini 10 alasan mengapa OSPEK harus dihapuskan dari sistem pendidikan di Indonesia :
1. OSPEK hanya melestarikan budaya feodal dengan mewajibkan para peserta untuk menghormati paksa senior dan menuruti segala kehendak senior. Hanya terkesan memuaskan para senior yang ’sok gila kuasa’ dan menganggap rendah status mahasiswa baru tak lebih sebagai budaknya.
2. Pelaksanaan OSPEK selama ini yang bermaksud menanamkan kedisiplinan dengan hukuman dan bentakan hanyalah sebuah bentuk militerisasi dalam kampus. Ini adalah bentuk KEMUNAFIKAN mahasiswa yang katanya anti militerisme dalam kampus tetapi malah melestarikan militerisme dari waktu ke waktu.
3. Penanaman nilai-nilai baru dalam waktu yang singkat dan dalam tekanan adalah sangat TIDAK EFEKTIF ditinjau dari faktor psikologi. Mahasiswa yang tidak tidur ataupun kelelahan karena mengerjakan setumpuk tugas tidak memiliki kesiapan maksimal untuk menerima informasi baru.
4. Pembuatan aneka atribut yang aneh-aneh merupakan suatu pemborosan uang dan waktu semata, tak sebanding dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam serangkaian aneka atribut tersebut.
5. Thorndike, seorang ahli psikologi pembelajaran menyatakan bahwa hukuman tidak efektif untuk meniadakan suatu perilaku tertentu. Begitu halnya dengan hukuman dan sanksi pada OSPEK tidak akan efektif membuat seorang mahasiswa untuk menghilangkan perilaku-perilaku buruknya.
6. Kekuasaaan sangat dekat dengan kekerasan, maka tak heran jika panitia yang memiliki wewenang dan derajat lebih tinggi dari mahasiswa baru akan melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis kepada mahasiswa baru.
7. Tak dapat dipungkiri bahwa terkadang OSPEK merupakan sarana balas dendam bagi senior atas perlakuan kakak kelas yang mereka alami pada waktu dulu. Rasa dendam akan selalu muncul dalam segala perlakuan yang menyakitkan, namun berhubung OSPEK adalah sesuatu yang dilegalkan sehingga kesempatan membalas hanya mungkin dilakukan pada OSPEK tahun berikutnya.
8. OSPEK memang terbukti mengakrabkan para mahasiswa, namun proses keakraban pada mahasiswa akan terjadi dengan sendirinya ketika mahasiswa mulai beraktivitas dalam kampus tanpa perlu dipaksakan dalam suatu penderitaan.
9. Setiap orang memiliki kerentanan psikologis yang berbeda-beda, sehingga hukuman yang serampangan ataupun perlakuan yang menekan mental pada OSPEK dapat menimbulkan suatu TRAUMA PSIKOLOGIS tersendiri bagi beberapa orang. Trauma ini pada akhirnya akan menimbulkan abnormalitas kejiwaan seseorang.
10. Kenangan dalam OSPEK hanya menciptakan romantisme tertentu ketika diceritakan beberapa waktu setelah OSPEK, namun tentunya setiap orang tidak ingin mengalami OSPEK untuk beberapa kali lagi. Ini merupakan bukti bahwa setiap orang tidak menginginkan OSPEK terjadi lagi dalam hidup mereka. *Coba tanyakan juga pada mahasiswa baru tentang kesan OSPEK.
10 Alasan diatas sudah cukup untuk menghapuskan OSPEK dari sistem pendidikan di negara kita.
Solusi yang saya tawarkan untuk mengganti OSPEK, yaitu :
Pemberian informasi mengenai lingkungan kampus dan sekitarnya dapat dilakukan dalam satu matakuliah umum dalam beberapa kali pertemuan, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan dalam kelompok yang dipandu dan difasilitator oleh mahasiswa yang lebih senior. Dinamika kelompok kecil akan lebih terasa dibandingkan kelompok besar, sehingga keakraban antar mahasiswa dalam kelompok maupun antar kelompok pun akan semakin terjalin dengan baik.
Penanaman nilai-nilai dan informasi baru sangat efektif dilakukan dengan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan dalam rupa permainan-permainan ringan tanpa hukuman. Hadiah telah terbukti efektif dalam membentuk dan mempertahankan suatu perilaku baru.
Sistem Kredit Poin per Materi dapat juga digunakan sebagai hadiah (rewards). Misalnya 1 poin untuk datang tepat waktu, 1 poin untuk kerapian, 1 poin untuk mengenal denah gedung kuliah. Jika mahasiswa tidak memperoleh standar poin tertentu, mahasiswa harus mengulang kegiatan tersebut di tahun depan ataupun pengurangan jumlah sks yang diambil.
Hal yang menyenangkan akan selalu diingat sebagai kenangan yang menyenangkan pula, dan tidak menimbulkan trauma.
Catatan :
OSPEK jaman lampau atau kegiatan yang menggunakan kedisiplinan semi-militer baik mental maupun fisik lebih baik diterapkan pada organisasi-organisasi kemahasiswaan seperti Pecinta Alam, Pramuka, dan MENWA bukan pada lembaga pendidikan umum seperti sekolah dan perguruan tinggi.
Inilah keadaan OSPEK 2002, panitia OSPEK Fakultas Ilmu Budaya UGM dengan berbagai senjatanya sedang mengintimidasi para mahasiswa yang ketakutan (lihat penanda lingkaran : busur panah, tongkat kayu, tongkat bisbol, senjata yang lain tidak terekam dalam kamera karena saya sudah didorong-dorong untuk keluar arena).
Tuesday, August 26, 2008
Saturday, August 16, 2008
Indonesia kedepan
Setelah menunggu hampir 9 tahun sejak meledaknya krisis ekonomi baru saat Pemerintah akhirnya menyadari pentingnya peran sektor industri pengolahan (manufacturing industry) dalam mendorong perekonomian daya yang kokoh dan berkelanjutan. Seperti yang dinyatakan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) sektor ini diharapkan mampu memberi keuntungan ganda dalam menambah nilai investasi dan menjadi sumber lapangan kerja baru.
Berbeda dengan target-target ekonomi agregat sebelumnya, target pertumbuhan sektoral yang diajukan Pemerintah mengalami reorientasi dengan menekankan pada pentingnya peran sektor manufaktur. Tingkat pertumbuhan 4,6% dan 4,7% dua tahun belakangan pada sektor manufaktur telah disadari menyebabkan kemampuan yang terbatas dari ekonomi Indonesia menghasilkan multiplier kegiatan usaha dan lapangan kerja. Sehingga perlu kita sambut secara positif perubahan sikap Pemerintah ini, dengan mematok pertumbuhan sektor manufaktur menjadi 7,2%, dengan harapan kondisi seperti sebelum krisis di atas 8% bisa digapai.
Dalam rancangan tersebut dituntut juga kenaikan tingkat konsumsi masyarakat 5,1%, konsumsi pemerintah 8,9% dan ekspor 9,9% — sehingga tingkat laju pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sebanyak 6,3% dapat dicapai. Tentunya hal ini membawa implikasi pada kebutuhan sumber dana yang sangat besar. Dan memang dalam coretan-coretan Menkeu, sektor pasar modal perlu setor Rp 346,15 triliun, Pemerintah dan BUMN Rp 346,15 triliun, Penanaman Modal Asing (PMA) Rp 190 triliun dan lembaga perbankan Rp 100 triliun.
Tujuan menuju masyarakat industrialisasi yang kokoh akan semakin nyata apabila niat tersebut dilengkapi dengan rencana aksi yang terkoordinir dari Pemerintah beserta para pelaku ekonomi dunia usaha untuk merealisasikannya. Pengalaman dari negara berkembang yang sukses dalam program industrialisasi, menyarankan perlunya Pemerintah memiliki satuBlueprint Program Industrialisasi yang terfokus dan feasible. Fokus dalam arti Pemerintah perlu melakukan penajaman target pengembangan sektor manufaktur andalan yang tahan banting. Feasible memiliki makna bahwa produk andalan yang diprioritaskan cukup memberikan margin usaha bagi investor untuk terjun ke sektor tersebut, dan tersedia sumber dana yang cukup. Sayangnya sampai dengan detik ini kita belum melihat blueprint tersebut.
Tentunya tidak seluruh produk andalan sektor manufaktur akan memberikan dampak multiplier yang tinggi. Bahkan kita dihadapkan pada suatu paradox bahwa memilih produk andalan industri manufaktur yang memiliki kinerja multiplier output yang tinggi biasanya enggan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Demikian juga konsentrasi pada produk-produk sektor manufaktur dengan multiplier tenaga kerja yang tinggi (tekstil, pakaian, kulit, elektronik) biasanya mereka sudah memasuki tahap penurunan penjualan (sunset industry) dan daya saing yang rendah.
Ke depan pekerjaan rumah kita masih banyak. Berikut ini mungkin beberapa upaya minimal yang perlu dilakukan agar visi membangun sektor industri yang kokoh dan bermanfaat dapat kita realisasikan dalam tempo yang tidak terlalu lama:
1. Dunia usaha di sektor manufaktur dengan multiplier tenaga kerja yang tinggi perlu segera melakukan pembaharuan dalam aplikasi teknologi produksi, manajerial dan pemasaran. Program pendidikan dan pelatihan karyawan dalam peningkatan kompetensi untuk memodernisasi kegiatan sub-sektor ekonomi ini perlu segera dipersiapkan dan dilaksanakan.
2. Produk andalan yang berdaya saing di pasar global, antara lain seperti industri komponen, usaha pengalengan produk perikanan, industri hilir pengguna minyak sawit (selain industri minyak goreng), briket batubara, industri galangan kapal, industri rancang bangun peralatan konstruksi, usaha olahan hasil hutan, dan industri karoseri truk merupakan contoh-contoh produk andalan yang perlu dipertimbangkan.
3. Orientasi penggunaan laba perusahaan BUMN untuk tujuan menambal defisit APBN agar segera diakhiri. Sebaiknya laba perusahaan BUMN direlakan untuk ditanamkan kembali oleh perusahaan BUMN tersebut dalam mengembangkan kapasitas produksi mereka dan ekspansi industri pasokan dan komponen yang terkait.
4. Konsumsi Pemerintah agar tidak terlalu banyak disalurkan untuk pengeluaran rutin dan belanja pegawai, sehingga dana yang terbatas dapat digunakan guna mengembangkan pendidikan dan ketrampilan kejuruan di bidang usaha manufaktur andalan. Sebagian dana Pemerintah perlu diprioritaskan untuk modernisasi pelabuhan dan moda angkutan laut antar pulau di luar Jawa, berikut pengembangan fasilitas dan infrastruktur publik.
5. Merombak sistem produksi dan organisasi PLN serta Pertamina sehingga mampu memberikan kontribusi positif untuk program industrialisasi. Partisipasi swasta dalam memproduksi sumber daya listrik untuk keperluan industri agar segera dibuka dibarengi dengan penciutan SDM PLN. Bagi perusahaan Pertamina, agar segera merubah orientasi “dagang atau fungsi brokernya” menjadi jagoan lapangan yang handal seperti layaknya Petronas-Malaysia.
6. Untuk memangkas pengeluaran rutin yang semakin membengkak, Pemerintah harus berani melakukan program rasionalisasi pegawai negeri di Republik tercinta ini. Produktivitas pegawai negara dapat jauh lebih ditingkatkan dengan menggandakan balas jasa mereka. Apalagi pada saat ini pegawai negara kita sudah tidak lagi menjadi “sapi perah” yang dapat dibeli untuk tujuan pencoblosan di bilik suara saat Pemilu.
7. Penyaluran kredit konsumsi untuk KPR dan kendaraan bermotor segera dibatasi tingkat laju pertumbuhannya, mengingat alokasi di kedua sektor konsumsi tersebut telah mengarah pada pemborosan dan misalokasi sumber dana masyarakat yang terbatas.
Berbeda dengan target-target ekonomi agregat sebelumnya, target pertumbuhan sektoral yang diajukan Pemerintah mengalami reorientasi dengan menekankan pada pentingnya peran sektor manufaktur. Tingkat pertumbuhan 4,6% dan 4,7% dua tahun belakangan pada sektor manufaktur telah disadari menyebabkan kemampuan yang terbatas dari ekonomi Indonesia menghasilkan multiplier kegiatan usaha dan lapangan kerja. Sehingga perlu kita sambut secara positif perubahan sikap Pemerintah ini, dengan mematok pertumbuhan sektor manufaktur menjadi 7,2%, dengan harapan kondisi seperti sebelum krisis di atas 8% bisa digapai.
Dalam rancangan tersebut dituntut juga kenaikan tingkat konsumsi masyarakat 5,1%, konsumsi pemerintah 8,9% dan ekspor 9,9% — sehingga tingkat laju pertumbuhan ekonomi tahun 2007 sebanyak 6,3% dapat dicapai. Tentunya hal ini membawa implikasi pada kebutuhan sumber dana yang sangat besar. Dan memang dalam coretan-coretan Menkeu, sektor pasar modal perlu setor Rp 346,15 triliun, Pemerintah dan BUMN Rp 346,15 triliun, Penanaman Modal Asing (PMA) Rp 190 triliun dan lembaga perbankan Rp 100 triliun.
Tujuan menuju masyarakat industrialisasi yang kokoh akan semakin nyata apabila niat tersebut dilengkapi dengan rencana aksi yang terkoordinir dari Pemerintah beserta para pelaku ekonomi dunia usaha untuk merealisasikannya. Pengalaman dari negara berkembang yang sukses dalam program industrialisasi, menyarankan perlunya Pemerintah memiliki satuBlueprint Program Industrialisasi yang terfokus dan feasible. Fokus dalam arti Pemerintah perlu melakukan penajaman target pengembangan sektor manufaktur andalan yang tahan banting. Feasible memiliki makna bahwa produk andalan yang diprioritaskan cukup memberikan margin usaha bagi investor untuk terjun ke sektor tersebut, dan tersedia sumber dana yang cukup. Sayangnya sampai dengan detik ini kita belum melihat blueprint tersebut.
Tentunya tidak seluruh produk andalan sektor manufaktur akan memberikan dampak multiplier yang tinggi. Bahkan kita dihadapkan pada suatu paradox bahwa memilih produk andalan industri manufaktur yang memiliki kinerja multiplier output yang tinggi biasanya enggan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Demikian juga konsentrasi pada produk-produk sektor manufaktur dengan multiplier tenaga kerja yang tinggi (tekstil, pakaian, kulit, elektronik) biasanya mereka sudah memasuki tahap penurunan penjualan (sunset industry) dan daya saing yang rendah.
Ke depan pekerjaan rumah kita masih banyak. Berikut ini mungkin beberapa upaya minimal yang perlu dilakukan agar visi membangun sektor industri yang kokoh dan bermanfaat dapat kita realisasikan dalam tempo yang tidak terlalu lama:
1. Dunia usaha di sektor manufaktur dengan multiplier tenaga kerja yang tinggi perlu segera melakukan pembaharuan dalam aplikasi teknologi produksi, manajerial dan pemasaran. Program pendidikan dan pelatihan karyawan dalam peningkatan kompetensi untuk memodernisasi kegiatan sub-sektor ekonomi ini perlu segera dipersiapkan dan dilaksanakan.
2. Produk andalan yang berdaya saing di pasar global, antara lain seperti industri komponen, usaha pengalengan produk perikanan, industri hilir pengguna minyak sawit (selain industri minyak goreng), briket batubara, industri galangan kapal, industri rancang bangun peralatan konstruksi, usaha olahan hasil hutan, dan industri karoseri truk merupakan contoh-contoh produk andalan yang perlu dipertimbangkan.
3. Orientasi penggunaan laba perusahaan BUMN untuk tujuan menambal defisit APBN agar segera diakhiri. Sebaiknya laba perusahaan BUMN direlakan untuk ditanamkan kembali oleh perusahaan BUMN tersebut dalam mengembangkan kapasitas produksi mereka dan ekspansi industri pasokan dan komponen yang terkait.
4. Konsumsi Pemerintah agar tidak terlalu banyak disalurkan untuk pengeluaran rutin dan belanja pegawai, sehingga dana yang terbatas dapat digunakan guna mengembangkan pendidikan dan ketrampilan kejuruan di bidang usaha manufaktur andalan. Sebagian dana Pemerintah perlu diprioritaskan untuk modernisasi pelabuhan dan moda angkutan laut antar pulau di luar Jawa, berikut pengembangan fasilitas dan infrastruktur publik.
5. Merombak sistem produksi dan organisasi PLN serta Pertamina sehingga mampu memberikan kontribusi positif untuk program industrialisasi. Partisipasi swasta dalam memproduksi sumber daya listrik untuk keperluan industri agar segera dibuka dibarengi dengan penciutan SDM PLN. Bagi perusahaan Pertamina, agar segera merubah orientasi “dagang atau fungsi brokernya” menjadi jagoan lapangan yang handal seperti layaknya Petronas-Malaysia.
6. Untuk memangkas pengeluaran rutin yang semakin membengkak, Pemerintah harus berani melakukan program rasionalisasi pegawai negeri di Republik tercinta ini. Produktivitas pegawai negara dapat jauh lebih ditingkatkan dengan menggandakan balas jasa mereka. Apalagi pada saat ini pegawai negara kita sudah tidak lagi menjadi “sapi perah” yang dapat dibeli untuk tujuan pencoblosan di bilik suara saat Pemilu.
7. Penyaluran kredit konsumsi untuk KPR dan kendaraan bermotor segera dibatasi tingkat laju pertumbuhannya, mengingat alokasi di kedua sektor konsumsi tersebut telah mengarah pada pemborosan dan misalokasi sumber dana masyarakat yang terbatas.
Merdeka atau Terjajah?
Jangan bangga mengatakan merdeka jika belum paham makna merdeka! Karena jika kita mendeklarasikan kemerdekaan sementara sendi-sendi kita masih terbelenggu, yang ada hanya sebuah kemunafikan yang semakin menindas kehidupan sendi itu.
*De facto* atau *de jure*? dua elemen yang bukan pilihan dalam sebuah pernyataan kemerdekaan. Menyatakan merdeka secara hukum berarti faktanya
sudah bebas dari penindasan, keterpurukan, dan mampu berkehendak. Bukan sebagian merdeka namun sebagian lagi tertindas dengan kemerdekaan yang diperoleh. Belumlah suatu bangsa dikatakan merdeka jika faktanya para birokrat merdeka berkehendak, membuat kebijakan yang menindas kemerdekaan rakyat.
Dalam konteks Indonesia. Tahun 1945 merupakan awal kemerdekaan bangsa ini, bahkan dunia intenasional pun mengakuinya. Kebijakan-kebijakan Negara menjadi hak bangsa Indonesia sendiri, tidak ada lagi bayang-bayang intimidasi bangsa lain. Melahirkan konstitusi sendiri dan melakukan eksekutif kebijakan sendiri. Lahirnya ideologi bangsa, yang menjadi sakti karena agungnya harapan. Semua rakyat bahagia menyambut masa tanpa penindasan.
Seiring bergulirnya waktu, pengkhianatan demi pengkhianatan terus berlaku. Bukan lagi bangsa lain yang memporak-porandakan kemerdekaan bangsa namun
egoisme para 'penguasa' kebijakan. Melupakan konstitusi yang katanya sakti, namun tetap menyatakan konstitusi tersebut tetap sakti adanya dengan membuat kebijakan-kebijakan sentralistik hingga rakyat tidak lagi dapat ber-aspirasi. Satu jurus saat itu, hanya ada Asas Tunggal (PANCASILA, red.), asas agama pun 'haram' berada diatas perut ibu pertiwi. Hingga banyak organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lari dikejar-kejar aparat hanya karena tidak mau melepas landasan ideologis, layaknya *sparatis* padahal nasionalisme mereka tak perlu diragukan.
Periode pun berubah, 1998 corong demokrasi digaungkan dengan menggulirkan rezim orde baru diganti dengan Reformasi. Rakyat pun yang berkuasa, Demokrasi! Aparatur Negara adalah pengejawantahan rakyat dalam proses PEMILU, organisasi pun tidak lagi terikat dengan Asas-Tunggal, namun tetap berkomitmen dengan NKRI dan landasan bangsa. Beriringan segala profesi, wilayah, dll memiliki masing-masing kebebasannya. Pelbagai istilah kebebasan banyak kita dengar, mulai kebebasan pers, kebebasan berpendapat, HAM, dll hingga kebebasan bagi Aparatur Negara membuat kebijakan.
Pemilu 1999, partai-partai politik bermunculan karena arus kebebasan berpartisipasi aktif dalam politik diakui. Lagi-lagi rakyat menjadi sasaran panasnya 'pesta demokrasi', banyak konflik terjadi hanya gara-gara bendera parpol yang dikibarkan. Nyawa pun tak segan-segan menjadi jawaban pesta perebutan posisi nomor wahid bangsa Indonesia. Aparatur Negara lengkap sudah terpilih dengan segala janji dirinya adalah hasil perjuangan rakyat dan akan memperjuangnkan nasib rakyat, kini tinggallah janji. Sekali lagi rakyat dibodohi…hak yang harusnya diperoleh dan kewajiban yang harusnya diberikan oleh Negara hanyalah hiasan konstitusi Negara. Dan Aparatur berhak melakukan
atau tidak.
Indonesia secara yuridhis sudah merdeka namun *de facto* masih nampak imprealisme model baru. Karena kebijakan-kebijakan bangsa selalu menindas rakyat. Inilah imprealisme model baru itu, bangsa dijajah oleh bangsa sendiri. Sebuah realitas sosial tanpa keterpihakan kepada rakyat di masa kemerdekaan dengan penjajah pemerintah. Yang ada hanya institusi pelindung rakyat yang miskin dan mandul kebijakn.
63 Tahun Indonesia Merdeka! Mampukah kita mengucapkan dalam lisan atau sekedar meyakini dalam hati. Sementara rakyat semakin merintih karena tidak dapat mersakan pendidikan layak, makan bergizi, tidur dengan aman, berbudaya dengan nyaman, bermodal tanpa tindasan rentenir, gila gara-gara tidak lulus UAN, bahkan segunung masalah lainnya. Bangsaku suram, ibu pertiwiku muram, masa depan rakyatku buram.
*De facto* atau *de jure*? dua elemen yang bukan pilihan dalam sebuah pernyataan kemerdekaan. Menyatakan merdeka secara hukum berarti faktanya
sudah bebas dari penindasan, keterpurukan, dan mampu berkehendak. Bukan sebagian merdeka namun sebagian lagi tertindas dengan kemerdekaan yang diperoleh. Belumlah suatu bangsa dikatakan merdeka jika faktanya para birokrat merdeka berkehendak, membuat kebijakan yang menindas kemerdekaan rakyat.
Dalam konteks Indonesia. Tahun 1945 merupakan awal kemerdekaan bangsa ini, bahkan dunia intenasional pun mengakuinya. Kebijakan-kebijakan Negara menjadi hak bangsa Indonesia sendiri, tidak ada lagi bayang-bayang intimidasi bangsa lain. Melahirkan konstitusi sendiri dan melakukan eksekutif kebijakan sendiri. Lahirnya ideologi bangsa, yang menjadi sakti karena agungnya harapan. Semua rakyat bahagia menyambut masa tanpa penindasan.
Seiring bergulirnya waktu, pengkhianatan demi pengkhianatan terus berlaku. Bukan lagi bangsa lain yang memporak-porandakan kemerdekaan bangsa namun
egoisme para 'penguasa' kebijakan. Melupakan konstitusi yang katanya sakti, namun tetap menyatakan konstitusi tersebut tetap sakti adanya dengan membuat kebijakan-kebijakan sentralistik hingga rakyat tidak lagi dapat ber-aspirasi. Satu jurus saat itu, hanya ada Asas Tunggal (PANCASILA, red.), asas agama pun 'haram' berada diatas perut ibu pertiwi. Hingga banyak organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lari dikejar-kejar aparat hanya karena tidak mau melepas landasan ideologis, layaknya *sparatis* padahal nasionalisme mereka tak perlu diragukan.
Periode pun berubah, 1998 corong demokrasi digaungkan dengan menggulirkan rezim orde baru diganti dengan Reformasi. Rakyat pun yang berkuasa, Demokrasi! Aparatur Negara adalah pengejawantahan rakyat dalam proses PEMILU, organisasi pun tidak lagi terikat dengan Asas-Tunggal, namun tetap berkomitmen dengan NKRI dan landasan bangsa. Beriringan segala profesi, wilayah, dll memiliki masing-masing kebebasannya. Pelbagai istilah kebebasan banyak kita dengar, mulai kebebasan pers, kebebasan berpendapat, HAM, dll hingga kebebasan bagi Aparatur Negara membuat kebijakan.
Pemilu 1999, partai-partai politik bermunculan karena arus kebebasan berpartisipasi aktif dalam politik diakui. Lagi-lagi rakyat menjadi sasaran panasnya 'pesta demokrasi', banyak konflik terjadi hanya gara-gara bendera parpol yang dikibarkan. Nyawa pun tak segan-segan menjadi jawaban pesta perebutan posisi nomor wahid bangsa Indonesia. Aparatur Negara lengkap sudah terpilih dengan segala janji dirinya adalah hasil perjuangan rakyat dan akan memperjuangnkan nasib rakyat, kini tinggallah janji. Sekali lagi rakyat dibodohi…hak yang harusnya diperoleh dan kewajiban yang harusnya diberikan oleh Negara hanyalah hiasan konstitusi Negara. Dan Aparatur berhak melakukan
atau tidak.
Indonesia secara yuridhis sudah merdeka namun *de facto* masih nampak imprealisme model baru. Karena kebijakan-kebijakan bangsa selalu menindas rakyat. Inilah imprealisme model baru itu, bangsa dijajah oleh bangsa sendiri. Sebuah realitas sosial tanpa keterpihakan kepada rakyat di masa kemerdekaan dengan penjajah pemerintah. Yang ada hanya institusi pelindung rakyat yang miskin dan mandul kebijakn.
63 Tahun Indonesia Merdeka! Mampukah kita mengucapkan dalam lisan atau sekedar meyakini dalam hati. Sementara rakyat semakin merintih karena tidak dapat mersakan pendidikan layak, makan bergizi, tidur dengan aman, berbudaya dengan nyaman, bermodal tanpa tindasan rentenir, gila gara-gara tidak lulus UAN, bahkan segunung masalah lainnya. Bangsaku suram, ibu pertiwiku muram, masa depan rakyatku buram.
Remaja Berbangsa
Remaja merupakan fase perantaraan, bukan anak kecil dan bukan orang dewasa. Maka pemikirannya pun bukanlah tertumpu kepada ibu lagi, tetapi berpikir tentang nilai kemandirian dan pertemanan. Pemikiran yang diterima mulai bisa diorganisisasikan, lalu mencoba menelurkan ide-ide baru.
Kempuan berpikir bisa menjadi lebih abstrak-teoritis, menalar logis, untuk menarik sebuah kesimpulan dari informasi yang diterima. Bahkan sudah bisa berpikir tentang masa depan atau cita-cita sekaligus menerjemahkannya menjadi rencana aksi strategis untuk mewujudkannya. Kemudian buahnya adalah penemuan-penemuan karakteristik pribadi yang unik yang kokoh menghujam dalam pemikiran, perasaan, dan sikap.
Semua itu sangat tergantung pada lingkungan pergaulan dari remaja, karena remaja kecenderungannya lebih besar terhadap teman daripada orang tua atau keluarga. Padahal, sudah menjadi prestasi sekaligus ironi, remaja saat ini adalah remaja yang penuh dengan kegelimangan teknologi informasi dan komunikasi. Sampah dari buahnya yaitu budaya hedonisme semakin merajalela, suatu pandangan hidup yang terwujud dalam perilaku yang beranggapan kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan utama, bahkan satu-satunya. Segala aktivitas penuh dengan usaha-usaha yang berorientasi sesaat, tanpa berpikir panjang ke depan, apalagi kehidupan akhirat. Selain itu usahanya pun hanya untuk kepentingan sendiri, dengan mengesampingkan kepentingan orang lain: berpikir egois. Asal kebutuhan dan kesenangan sendiri terpenuhi, sudahlah cukup, untuk apa memikirkan kesulitan orang lain walaupun orang lain itu sangat membutuhkan pertolongan, bahkan sampai meminta-minta.
Sangat ramai mal-mal dengan remaja, entah itu hanya nongkrong dan kongkow atau benar-benar berbelanja hal-hal yang diingankan padahal belum tentu dibutuhkan. Pusat-pusat hiburan, misalnya konser musik, café, game online, dan sebagainya, penuh dengan para remaja yang menghambur-hamburkan waktu yang amat berharga dengan percuma. Pelajaran-pelajaran menjadi suatu teori tak terbantahkan yang dihafalkan tanpa ada niatan mengaplikasikan dan atau mentransformasikan. Orientasi pemenuhannya hanya untuk lembaran-lembaran evaluasi berupa angka-angka penilaian subjektif pengajar tanpa ada mentoring dalam pengamalan.
Adapun masjid, menjadi kosong melompong, dibiarkan bolong tanpa ada polesan remaja yang tertambat hatinya di sana. Diskusi-diskusi keislaman menjadi rutinitas tanpa kreatifitas dan dinamisasi kualitas maupun kuantitas. Aktivitas sosial kemasyarakatan hanya menjadi bagan struktural di dinding, menjadi “gerakan yang tidak bergerak”.
Kalau begitu, dengan kondisi seperti ini apakah mungkin remaja sempat dan mau serta mampu memikirkan persoalan-persoalan kebangsaan. Menjadi keniscayaan yang pasti, bahwa remaja hedonis itu anti dengan persoalan sosial-politik. Dengan orientasi kekinian dan egoisme tingkat tinggi, sudah pasti keengganan itu merajai pola pikir para remaja tersebut.
Mengingat persoalan bangsa adalah multi dimensional, tidak hanya ranah politik, namun sosial, ekonomi, kebudayaan, serta keamanan dan ketahanan, maka sangat tidak laik ketika remaja melewatkannya. Sebagai para penentu wajah dunia 20-30 tahun selanjutnya, remaja sudah seyogyanya mulai berpikir dengan mengenal kemudian menganalisis permasalahan bangsa, baik itu yang mendasar atau pengembangan. Lalu juga berlatih mengkritisi dan berpihak atau bertendensi dalam berbagai aktivitasnya. Sehingga pemikirannya tidak jumud pada kestatisan dalam hal-hal remeh temeh yang egois.
Selain itu, saat ini dibutuhkan pendidikan kepemimpinan sebagai dasar untuk memasuki jagad perpolitikan dengan berbagai levelnya, bisa tingkat RT, Walikota, atau PBB. Kesemuanya tidaklah bisa secara instan dalam persiapannya. Maka dari itu dibutuhkan pelatihan sebagai bentuk pengenalan dan memahamkan teoritis-konsepsional tentang kepemimpinan; diskusi dan tukar pikiran tentang problematika politik-kepemimpinan beserta dinamisasinya; penyediaan wahana aktualisasi dini yang praktis namun efektif; serta mentoring yang menyeluruh sekaligus mendetail untuk mengantisipasi penurunan motivasi ataupun orientasi.
Berdasar tingkat kepentingan yang tinggi, yaitu pendidikan remaja, maka sangat dibutuhkan implementasi nyata. Yaitu dalam bentuk penyediaan wahana untuk mengenalkan kemudian mengecamkan prinsip-prinsip organisasi modern dan kepemimpinan kepada remaja. Wahana tersebut tidaklah ditentukan lokuss gerakannya namun harus menjunjung tinggi norma-norma Islam. Jumlahnya harus banyak, semakin mengerucut semakin banyak yang tertampung dan terbuka lebih lebar kesempatan untuk lebih massif doktrinisasi konsepsi tersebut. Selain itu, pemimpin-pemimpin yang banyak ini, dibutuhkan pengendalian yang terorganisasi dan terberdayakan secara intensif dan mengena.
Bentuk seperti ini misalnya pembentukan kelompok diskusi dan belajar dalam kelas-kelas, pembentukan dewan kelas dengan peran lebih sebagai representasi suara siswa di sekolah, pengalihan wewenang-wewenang berat untuk remaja dalam berbagai aktivitas, pembentukan komunitas-komunitas baca, tulis, diskusi yang independen namun terstruktur, dll.
Dengan memunculkan pemimpin-pemimpin kecil yang banyak namun bagus, akan lebih massif gerakan kebangsaan yang terbangun, dan kemungkinan jauh lebih besar untuk memunculkan pemimpin baru yang keluar sebagai jalan alternatif atas persoalan-persoalan bangsa. Sebelumnya tentu terbentuk pribadi-pribadi yang berkepribadian kokoh dan bisa mengokohkan teman sebaya yang lainnya. Sehingga komunitas tersebut menjadi forum yang melejitkan potensi diri sekaligus dinamika kelompok menuju kelompok yang humanis, modernis, dan Islami.
Kempuan berpikir bisa menjadi lebih abstrak-teoritis, menalar logis, untuk menarik sebuah kesimpulan dari informasi yang diterima. Bahkan sudah bisa berpikir tentang masa depan atau cita-cita sekaligus menerjemahkannya menjadi rencana aksi strategis untuk mewujudkannya. Kemudian buahnya adalah penemuan-penemuan karakteristik pribadi yang unik yang kokoh menghujam dalam pemikiran, perasaan, dan sikap.
Semua itu sangat tergantung pada lingkungan pergaulan dari remaja, karena remaja kecenderungannya lebih besar terhadap teman daripada orang tua atau keluarga. Padahal, sudah menjadi prestasi sekaligus ironi, remaja saat ini adalah remaja yang penuh dengan kegelimangan teknologi informasi dan komunikasi. Sampah dari buahnya yaitu budaya hedonisme semakin merajalela, suatu pandangan hidup yang terwujud dalam perilaku yang beranggapan kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan utama, bahkan satu-satunya. Segala aktivitas penuh dengan usaha-usaha yang berorientasi sesaat, tanpa berpikir panjang ke depan, apalagi kehidupan akhirat. Selain itu usahanya pun hanya untuk kepentingan sendiri, dengan mengesampingkan kepentingan orang lain: berpikir egois. Asal kebutuhan dan kesenangan sendiri terpenuhi, sudahlah cukup, untuk apa memikirkan kesulitan orang lain walaupun orang lain itu sangat membutuhkan pertolongan, bahkan sampai meminta-minta.
Sangat ramai mal-mal dengan remaja, entah itu hanya nongkrong dan kongkow atau benar-benar berbelanja hal-hal yang diingankan padahal belum tentu dibutuhkan. Pusat-pusat hiburan, misalnya konser musik, café, game online, dan sebagainya, penuh dengan para remaja yang menghambur-hamburkan waktu yang amat berharga dengan percuma. Pelajaran-pelajaran menjadi suatu teori tak terbantahkan yang dihafalkan tanpa ada niatan mengaplikasikan dan atau mentransformasikan. Orientasi pemenuhannya hanya untuk lembaran-lembaran evaluasi berupa angka-angka penilaian subjektif pengajar tanpa ada mentoring dalam pengamalan.
Adapun masjid, menjadi kosong melompong, dibiarkan bolong tanpa ada polesan remaja yang tertambat hatinya di sana. Diskusi-diskusi keislaman menjadi rutinitas tanpa kreatifitas dan dinamisasi kualitas maupun kuantitas. Aktivitas sosial kemasyarakatan hanya menjadi bagan struktural di dinding, menjadi “gerakan yang tidak bergerak”.
Kalau begitu, dengan kondisi seperti ini apakah mungkin remaja sempat dan mau serta mampu memikirkan persoalan-persoalan kebangsaan. Menjadi keniscayaan yang pasti, bahwa remaja hedonis itu anti dengan persoalan sosial-politik. Dengan orientasi kekinian dan egoisme tingkat tinggi, sudah pasti keengganan itu merajai pola pikir para remaja tersebut.
Mengingat persoalan bangsa adalah multi dimensional, tidak hanya ranah politik, namun sosial, ekonomi, kebudayaan, serta keamanan dan ketahanan, maka sangat tidak laik ketika remaja melewatkannya. Sebagai para penentu wajah dunia 20-30 tahun selanjutnya, remaja sudah seyogyanya mulai berpikir dengan mengenal kemudian menganalisis permasalahan bangsa, baik itu yang mendasar atau pengembangan. Lalu juga berlatih mengkritisi dan berpihak atau bertendensi dalam berbagai aktivitasnya. Sehingga pemikirannya tidak jumud pada kestatisan dalam hal-hal remeh temeh yang egois.
Selain itu, saat ini dibutuhkan pendidikan kepemimpinan sebagai dasar untuk memasuki jagad perpolitikan dengan berbagai levelnya, bisa tingkat RT, Walikota, atau PBB. Kesemuanya tidaklah bisa secara instan dalam persiapannya. Maka dari itu dibutuhkan pelatihan sebagai bentuk pengenalan dan memahamkan teoritis-konsepsional tentang kepemimpinan; diskusi dan tukar pikiran tentang problematika politik-kepemimpinan beserta dinamisasinya; penyediaan wahana aktualisasi dini yang praktis namun efektif; serta mentoring yang menyeluruh sekaligus mendetail untuk mengantisipasi penurunan motivasi ataupun orientasi.
Berdasar tingkat kepentingan yang tinggi, yaitu pendidikan remaja, maka sangat dibutuhkan implementasi nyata. Yaitu dalam bentuk penyediaan wahana untuk mengenalkan kemudian mengecamkan prinsip-prinsip organisasi modern dan kepemimpinan kepada remaja. Wahana tersebut tidaklah ditentukan lokuss gerakannya namun harus menjunjung tinggi norma-norma Islam. Jumlahnya harus banyak, semakin mengerucut semakin banyak yang tertampung dan terbuka lebih lebar kesempatan untuk lebih massif doktrinisasi konsepsi tersebut. Selain itu, pemimpin-pemimpin yang banyak ini, dibutuhkan pengendalian yang terorganisasi dan terberdayakan secara intensif dan mengena.
Bentuk seperti ini misalnya pembentukan kelompok diskusi dan belajar dalam kelas-kelas, pembentukan dewan kelas dengan peran lebih sebagai representasi suara siswa di sekolah, pengalihan wewenang-wewenang berat untuk remaja dalam berbagai aktivitas, pembentukan komunitas-komunitas baca, tulis, diskusi yang independen namun terstruktur, dll.
Dengan memunculkan pemimpin-pemimpin kecil yang banyak namun bagus, akan lebih massif gerakan kebangsaan yang terbangun, dan kemungkinan jauh lebih besar untuk memunculkan pemimpin baru yang keluar sebagai jalan alternatif atas persoalan-persoalan bangsa. Sebelumnya tentu terbentuk pribadi-pribadi yang berkepribadian kokoh dan bisa mengokohkan teman sebaya yang lainnya. Sehingga komunitas tersebut menjadi forum yang melejitkan potensi diri sekaligus dinamika kelompok menuju kelompok yang humanis, modernis, dan Islami.
Memaknai kemerdekaan Indonesia
Upacara Bendera 17 Agustus, berkumandangnya lagu Indonesia Raya, detik-detik Proklamasi, gelora salam Merdeka, derap langkah nasionalisme, renungan jasa para pahlawan, tabur bunga di makam pahlawan, berkobarnya semangat persatuan, panjat pinang, lomba makan kerupuk, dangdutan, perlombaan olah raga, serta berbagai kegiatan mengisi hari kemerdekaan, dan...dst...dst.
Seharian saya berkeliling Ibukota Jakarta memperhatikan perilaku berbagai kalangan masyarakat dalam memperingati hari kemerdekaan RI ke 63 ini. Semangat itu masih terasa, gelora untuk memajukan Indonesia Raya masih ada, kepedihan menahan beban ekonomi sedikit dilupakan untuk meramaikan Pesta Kemerdekaan Indonesia dalam kesederhanaan. Rasa malu sebagai akibat dari arah Indonesia yang tidak jelas sedikit terlupakan manakala menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Teringat perasaan senasib ketika bangsa Indonesia berjuang mencapai kemerdekaannya.
Teringat persahabatan sejati kebangsaan Indonesia mengusir penjajah yang telah merampok kekayaan Indonesia.
Teringat luka...kematian...tangisan...teriakan...tatapan harapan. Semua dilalui dengan keberanian dan mimpi untuk membangun bangsa Indonesia yang bersatu dalam payung NKRI yang bersama-sama memakmurkan rakyat.
Mengapa sekarang kita menjadi penakut, menjadi pengecut, menjadi ragu-ragu, menjadi saling mencurangi, menjadi saling mencakar, menjadi saling curiga.
Mengapa kekuasaan menjadi rebutan, sementara tanggung jawab mengemban amanat penderitaan rakyat cenderung diabaikan. Kesombongan intelektual liberalisme menguasai sistem ekonomi yang kita pilih sekarang, akibatnya ekonomi liberal yang liar mencabik-cabik kekayaan bangsa yang terbagi-bagi hanya di kalangan elit. Pemerintah hanya menjadi penagih pajak yang tunduk pada kekuasaan yang telah dikuasai elit politik dan penguasaha. Korupsi belum juga menunjukkan penurunan yang berarti, ketidakseimbangan dimana-mana, semangat separatisme masih bergelaora seiring dengan antisipasi otonomi daerah yang miskin persiapan.
Apa sesungguhnya yang terjadi dengan negeri Indonesia yang semakin sering dilanda bencana, baik bencana alamiah maupun yang dirancang oleh tangan-tangan jahat penghianat bangsa.
Tidak seluruh kengerian dan mimpi buruk yang Blog I-I sampaikan merupakan akibat dari kepemimpinan nasional, tetapi juga menjadi nyata karena kita semakin egois, saling mendendam, masa bodoh, dan yang paling parah adalah pengecut, lebih parah lagi pengecut karena takut jatuh martabat, takut jatuh miskin, takut jatuh dari kekuasaan.
Akibatnya sebuah dosa besar bernama korupsi menjadi budaya, sementara sinergi kekuasaan dengan swasta kembali melahirkan jaring kolusi yang sangat erat. Meskipun rakyat mati terbenam lumpur, tidak akan lahir kepedulian sejati dalam ketulusan menolong sesama manusia Indonesia. Apa yang terjadi adalah...ini perusahaanku, hartaku...ini negaraku, akulah pemimpin yang berpengaruh, mulai dari tingkatan manapun, bila ego kejahatan AKUnya itu tetap besar, kita akan terus menyaksikan kerusakan demi kerusakan.
Makna kemerdekaan tidaklah hanya bersifat individual tetapi merupakan cerminan kondisi bangsa yang terdiri dari berbagai komponen. Bila kita hanya memikirkan diri sendiri, niscaya bagi mereka yang mapan dan memiliki kekuasaan dan akses yang luas...sungguh hidupnya sangat amat merdeka. Tetapi bagi mereka yang nasibnya tergantung pada orang lain, perasaan terjajah itu justru semakin dalam apabila orang-orang yang memiliki pengaruh dalam hajat hidup orang banyak tidak mampu, pengecut, atau bahkan tidak paham bagaimana mengelola sumber-sumber kehidupan orang banyak secara adil.
Makna kemerdekaan adalah awal terwujudnya mimpi membangun bersama NKRI untuk kesejahteraan rakyat. Menjaga keamanan seluruh warga dalam lindungan sistem hukum yang adil dan kokoh. Bukan personifikasi kekuasaan individual ke dalam sistem seperti terjadi di wilayah Yudikatif dan eksekutif, atau rancangan sikut-menyikut di legislatif. Diperlukan keinsyafan massal tentang pentingnya kesadaran bersama dalam mengelola seluruh potensi bangsa.
Makna kemerdekaan dalam kerangka demokrasi masih bisa menerima segala hiruk pikuk persaingan para elit untuk menjadi pengelola negara, namun semua itu dalam kepatuhan terhadap aturan main. Yang lebih penting lagi adalah keseriusan serta keberanian dalam menempuh jalan pembangunan yang akan berdampak luas dan positif bagi bangsa Indonesia. Segala perdebatan harus bisa dilaksanakan dalam semangat persatuan dan pada saatnya harus berhenti, para pihak harus mengerti dan mampu menerima secara legowo. Meskipun dendam dan sakit hati itu adalah sifat manusiawi, namun bila kebenaran sedang membimbing Indonesia Raya, kita patut mendukungnya. Sebaliknya bila kegelapan sedang berkuasa kita juga wajib menempuh langkah nyata untuk meneranginya.
Merdeka!!!
SW
Seharian saya berkeliling Ibukota Jakarta memperhatikan perilaku berbagai kalangan masyarakat dalam memperingati hari kemerdekaan RI ke 63 ini. Semangat itu masih terasa, gelora untuk memajukan Indonesia Raya masih ada, kepedihan menahan beban ekonomi sedikit dilupakan untuk meramaikan Pesta Kemerdekaan Indonesia dalam kesederhanaan. Rasa malu sebagai akibat dari arah Indonesia yang tidak jelas sedikit terlupakan manakala menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Teringat perasaan senasib ketika bangsa Indonesia berjuang mencapai kemerdekaannya.
Teringat persahabatan sejati kebangsaan Indonesia mengusir penjajah yang telah merampok kekayaan Indonesia.
Teringat luka...kematian...tangisan...teriakan...tatapan harapan. Semua dilalui dengan keberanian dan mimpi untuk membangun bangsa Indonesia yang bersatu dalam payung NKRI yang bersama-sama memakmurkan rakyat.
Mengapa sekarang kita menjadi penakut, menjadi pengecut, menjadi ragu-ragu, menjadi saling mencurangi, menjadi saling mencakar, menjadi saling curiga.
Mengapa kekuasaan menjadi rebutan, sementara tanggung jawab mengemban amanat penderitaan rakyat cenderung diabaikan. Kesombongan intelektual liberalisme menguasai sistem ekonomi yang kita pilih sekarang, akibatnya ekonomi liberal yang liar mencabik-cabik kekayaan bangsa yang terbagi-bagi hanya di kalangan elit. Pemerintah hanya menjadi penagih pajak yang tunduk pada kekuasaan yang telah dikuasai elit politik dan penguasaha. Korupsi belum juga menunjukkan penurunan yang berarti, ketidakseimbangan dimana-mana, semangat separatisme masih bergelaora seiring dengan antisipasi otonomi daerah yang miskin persiapan.
Apa sesungguhnya yang terjadi dengan negeri Indonesia yang semakin sering dilanda bencana, baik bencana alamiah maupun yang dirancang oleh tangan-tangan jahat penghianat bangsa.
Tidak seluruh kengerian dan mimpi buruk yang Blog I-I sampaikan merupakan akibat dari kepemimpinan nasional, tetapi juga menjadi nyata karena kita semakin egois, saling mendendam, masa bodoh, dan yang paling parah adalah pengecut, lebih parah lagi pengecut karena takut jatuh martabat, takut jatuh miskin, takut jatuh dari kekuasaan.
Akibatnya sebuah dosa besar bernama korupsi menjadi budaya, sementara sinergi kekuasaan dengan swasta kembali melahirkan jaring kolusi yang sangat erat. Meskipun rakyat mati terbenam lumpur, tidak akan lahir kepedulian sejati dalam ketulusan menolong sesama manusia Indonesia. Apa yang terjadi adalah...ini perusahaanku, hartaku...ini negaraku, akulah pemimpin yang berpengaruh, mulai dari tingkatan manapun, bila ego kejahatan AKUnya itu tetap besar, kita akan terus menyaksikan kerusakan demi kerusakan.
Makna kemerdekaan tidaklah hanya bersifat individual tetapi merupakan cerminan kondisi bangsa yang terdiri dari berbagai komponen. Bila kita hanya memikirkan diri sendiri, niscaya bagi mereka yang mapan dan memiliki kekuasaan dan akses yang luas...sungguh hidupnya sangat amat merdeka. Tetapi bagi mereka yang nasibnya tergantung pada orang lain, perasaan terjajah itu justru semakin dalam apabila orang-orang yang memiliki pengaruh dalam hajat hidup orang banyak tidak mampu, pengecut, atau bahkan tidak paham bagaimana mengelola sumber-sumber kehidupan orang banyak secara adil.
Makna kemerdekaan adalah awal terwujudnya mimpi membangun bersama NKRI untuk kesejahteraan rakyat. Menjaga keamanan seluruh warga dalam lindungan sistem hukum yang adil dan kokoh. Bukan personifikasi kekuasaan individual ke dalam sistem seperti terjadi di wilayah Yudikatif dan eksekutif, atau rancangan sikut-menyikut di legislatif. Diperlukan keinsyafan massal tentang pentingnya kesadaran bersama dalam mengelola seluruh potensi bangsa.
Makna kemerdekaan dalam kerangka demokrasi masih bisa menerima segala hiruk pikuk persaingan para elit untuk menjadi pengelola negara, namun semua itu dalam kepatuhan terhadap aturan main. Yang lebih penting lagi adalah keseriusan serta keberanian dalam menempuh jalan pembangunan yang akan berdampak luas dan positif bagi bangsa Indonesia. Segala perdebatan harus bisa dilaksanakan dalam semangat persatuan dan pada saatnya harus berhenti, para pihak harus mengerti dan mampu menerima secara legowo. Meskipun dendam dan sakit hati itu adalah sifat manusiawi, namun bila kebenaran sedang membimbing Indonesia Raya, kita patut mendukungnya. Sebaliknya bila kegelapan sedang berkuasa kita juga wajib menempuh langkah nyata untuk meneranginya.
Merdeka!!!
SW
Subscribe to:
Posts (Atom)