Mengapa hakim di pengadilan tidak selalu adil?
Urusan adil memang tidak dapat dengan mudah dipecahkan dengan logika. Dan sistem peradilan modern banyak menggunakan logika dalam membuat penilaian atas kasus, sehingga kita melihat betapa banyak putusan konyol dibuat oleh logika manusia.
Sejauh ini logika lebih tepat untuk memahami urusan benda mati. Ilmu pengetahuan maju pesat dengan kemampuan manusia untuk merumuskan model-model alam. Kalau Anda sedang menggunakan logika maka pikiran Anda mengambil porsi lebih besar daripada rasa hati Anda.
Suara hati sebaliknya merupakan sesuatu yang didekati dengan penghayatan, bukan pemikiran. Suara hati ini lebih tepat untuk menghadapi problem nilai, seperti dilema bersalah atau tidak bersalah, baik dan buruk, benar dan salah. Sayangnya suara hati lebih sulit distandarkan, dan karena itu hukum tidak dapat didasarkan murni kepada suara hati. Hukum memerlukan kombinasi antara logika yang sistematis dengan suara hati yang tidak sistematis. Logika dan suara hati pun ternyata tidak mampu menjelaskan problem-problem yang sangat pelik dari kehidupan manusia. Pada batas tertentu manusia memerlukan wahyu sebagai pegangan nilai. Karena berpegang hanya pada suara hati, suku maya kuno mengorbankan manusia untuk dipersembahkan kepada dewa. Ini bentuk paling ekstrim dari pengorbanan. Sebaliknya, karena berpegang hanya kepada suara hati pula ada kaum yang ekstrim mengharamkan semua bentuk penyembelihan. Pada batas tertentu suara hati tak lagi mampu menilai.
Ambil contoh pada kegiatan (maaf) menyembelih kambing. Pada kasus ini logika langsung tumpul, tidak dapat digunakan menilai benar dan salah. Suara hati kebanyakan orang adalah ‘kasihan’ yang berarti cenderung meninggalkan perilaku tersebut. Namun logika mengatakan ada yang ‘kurang lengkap’ dengan suara hati demikian. Lalu buat apa diciptakan kambing? Maka wahyu mengambil perannya dengan menyatakan :
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu . Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS Al Maa’idah 1)
Selesai sudah hukum menyembelih kambing. Wahyu menjadi acuan nilai dari sesuatu yang tak lagi mampu diputuskan logika dan suara hati. Wahyu yang menyatakan halal memakan kambing yang disembelih dengan mengucapkan nama Tuhan, dan haram untuk yang dipenggal. Apakah bedanya kambing mati disembelih dengan kambing mati dipenggal? Sama matinya, beda hukumnya, demikian menurut wahyu. Logika tak mampu menjawab, suara hati pun tak mampu menjawab.
Kembali ke kasus hakim. Semestinya logika dipakai untuk menemukan bukti-bukti dan fakta-fakta. Selanjutnya suara hati digunakan untuk memberi penilaian. Dan apabila logika dan suara hati tak lagi mampu memutuskan maka peganglah wahyu untuk menjadi acuan. Pegang kitab hukum? Mmm… sesuai wahyu nggak ya kitab hukumnya?
No comments:
Post a Comment